Senin, 28 Januari 2013

Masalah Sosial Terhadap Tawuran Pelajar


 Kekerasan pada pelajar sudah sering kita dengar. Hal ini sering terjadi di sekolah dan pelakunya adalah teman sesama pelajar atau oleh oknum guru, yang seharusnya mendidik dengan penuh kasih sayang. Berdasarkan penelitian UNICEF tahun 2006 bahwa sekitar 80% kekerasan pada pelajar di daerah seluruh Indonesia dilakukan oleh guru. Di media cetak dan elektronik sudah sering diberitakan adanya kekerasan pada pelajar baik yang dilakukan oleh sesama pelajar maupun oleh oknum guru. Misal, kasus kekerasan yang dialami seorang pelajar di Kulon Progo pada bulan November 2010, hingga pelajar tersebut mengalami luka memar di bagian kepala. Di televisipun pernah marak diberitakan kematian pelajar akibat penganiayaan yang dialami Cliff Muntu seorang praja Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) dan diduga pelakunya adalah seniornya. Pada tahun yang sama, tahun 2007 seorang pelajar Franky Edward Damar tewas saat mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) SMK Pelayaran Wira Maritim Surabaya. Sebelumnya Franky merasakan sakit perut dan hanya diberikan obat sakit kepala oleh seniornya.
Tentu sangat miris mendengar pelajar-pelajar di negeri ini banyak mengalami kekerasan hingga mengakibatkan luka bahkan meninggal dunia di tempat mereka menimba ilmu. Di sekolah mereka mengalami kekerasan, sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk mendapatkan ilmu.
Menurut Kuriake banyak guru di Indonesia yang masih beranggapan bahwa kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Philips 2007). Padahal kekerasan bukanlah solusi yang tepat, karena dapat menimbulkan trauma psikologis, pelajar menyimpan amarah dan dendam dan selanjutnya melampiaskan kepada teman sesama pelajar yang lebih lemah. Hal ini tentunya akan sangat mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan sekolah.
  1. Definisi Kekerasan pada Pelajar
Menurut Weber, kekuasaan manusia atas manusia lain berlandaskan pada instrumen legitimasi, penampakan arah legitimasi yaitu kekerasan. Dengan kata lain, Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai satu kemungkinan memberdayakan kehendak seseorang, dalam bentuk tindak kekerasan terhadap pihak lain (Weber, 1956:171).
Pihak yang memegang kekuasaan menurut Weber adalah pelaku tindak kekerasan. Dalam dunia pendidikan, pelaku kekerasan yaitu guru, perangkat sekolah, dan pelajar yang merasa dirinya lebih kuat sehingga menindas pelajar lain yang lemah.
Kekerasan pada pelajar dapat berupa;
  • Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penganiayaan, dll. Hal ini dapat menyebabkan luka atau cedera pada pelajar.
  • Kekerasan psikis, dengan cara menghina, melecehkan, menjelek-jelekan, melontarkan kata-kata yang menyakiti hati sehingga pelajar tersebut merasa terhina, dilecehkan, kecil, bodoh, tidak berharga, tidak berguna dan menurunkan rasa percaya diri.
  • Kekerasan defensif, tindakan kekerasan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri, bukan untuk menyerang.
  • Kekerasan agresif, adalah kekerasan untuk mendapatkan sesuatu, seperti merampas.
  1. Faktor-faktor Penyebab kekerasan pada pelajar
Beberapa faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan pada pelajar yaitu:
  1. Dari pihak guru
  • Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak akan mampu memecahkan masalah, dalam hal ini kekerasan tidak akan merubah kelakuan siswa. Tetapi justru akan menimbulkan trauma psikologis, bahkan dendam yang akan sangat mengganggu perkembangan siswa.
  • Penilaian guru yang sama terhadap setiap siswanya, dalam hal ini hendaknya guru memahami individual differences atau perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing siswanya. Mulai dari background keluarga siswa berasal, kecerdasan, serta minat dan bakat. Sehingga seorang guru tidak akan menilai atau menghakimi seorang siswa yang menurutnya melakukan pelanggaran dengan kekerasan.
  • Pola mengajar satu arah yang masih banyak berlaku di Indonesia, sehingga menciptakan figur guru yang berkuasa, sehingga membuat siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan hal ini cenderung membuat guru untuk menerapkan kekuasaan kepada siswa secara mutlak.
  • Muatan kurikulum yang mengutamakan kecerdasan kognitif. Sehingga membuat susana belajar menjadi tegang dan menimbulkan tekanan. Disini guru sangat dibutuhkan agar menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
  1. Dari pihak pelajar atau siswa
Salah satu yang menyebabkan kekerasan pelajar adalah sikap pelajar tersebut, sikap sangat berhubungan dengan psikologis dan kepribadian yang dimiliki. Sikap inferioritas yang dimiliki pelajar, yaitu merasa tidak mampu, tidak dipedulikan, lemah, bodoh, kurang diperhatikan akan memicu dirinya untuk berbuat sesuatu bahkan yang menyalahi aturan agar dirinya mendapatkan perhatian dari semua warga sekolah. Namun sikap inferioritas ini dapat juga menimbulkan sikap yang sangat merugikan saat pelajar tersebut berusaha mendapatkan perhatian dan pengakuan dengan cara menindas pelajar lain yang lebih lemah.
  1. Dari pihak keluarga
Kekerasan yang dilakukan oleh guru dan pelajar juga harus dilihat dari background
atau masa lalu yang mereka alami di keluarga, yaitu antara lain:
  • Pola asuh
Pola asuh orang tua yang permisive dengan menuruti setiap kemauan dan tuntutan anak, maka akan membuat anak tersebut tidak mampu untuk mengelola emosi. Dia akan menganggap dirinya sebagai ‘raja’ dan memperlakukan orang di sekitarnya termasuk teman sekolahnya sesuai kemauannya untuk memenuhi setiap keinginannya. Sebagai contoh, sikap anak yang memaksa temannya untuk memberikan contekan saat ulangan atau siswa yang dengan paksa menyuruh temannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Sementara pola asuh orang tua yang penelantar akan mengakibatkan anak menjadi merasa tidak berharga, tidak dipedulikan, rejected atau merasa ditolak. Sikap inferioritas ini selanjutnya akan membuat anak menjadi pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Sehingga tidak jarang justru akan ditindas oleh anak lain yang merasa lebih kuat.
Lain halnya dengan pola asuh otoriter yang membuat anak kurang mendapat kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi karena aturan orang tua yang terlalu ketat. Pola asuh ini akan menimbulkan sikap kurang percaya diri pada anak dan sikap merasa bahwa dirinya selalu membuat kesalahan, tertekan, merasa takut kepada yang lebih kuat dan rasa patuh yang berlebihan serta irrasional. Selanjutnya tekanan emosi ini akan dilampiaskan kepada teman yang lebih lemah dalam bentuk agresivitas.
  • Orang tua yang mengalami masalah psikologis
Orang tua yang mengalami masalah psikologis, misal mengalami stress secara berlarut-larut maka akan sangat mempengaruhi anaknya secara psikologis. Karena orang tua yang cenderung melampiaskan kekesalannya pada anak dan mudah marah maka akan membuat anak menjadi kehilangan semangat, kehilangan konsentrasi, sensitive, serta mudah marah.
  • Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya suka melakukan kekerasan, seperti memukul, menyiksa fisik, mengintimidasi anggota keluarga lain atau keluarga sering melakukan konflik tebuka secara berkepanjangan maka akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak.
  1. Dari pihak lingkungan
Menurut filsuf Inggris, John Locke (1704-0932), perkembangan anak tergantung pada lingkungan, teori ini dikenal dengan ‘tabularasa’. Yakni anak dilahirkan sebagai kertas putih yang corak dan tulisannya digoreskan oleh lingkungan. Menurut aliran ini lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk tingkah laku, watak, serta sikap anak.
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan pada pelajar selama ini juga akibat dari pengaruh lingkungan, diantaranya adalah:
  • Adanya budaya kekerasan di lingkungan tempat anak tumbuh. Kekerasan yang dianggap sebagai suatu kewajaran di lingkungan tempat anak tumbuh maka akan membuat anak memandng kekerasan sebagai hal yang biasa dan wajar.
  • Tayangan kekerasan di media elektronik, khususnya televisi. Jika seorang anak sering menonton tayangan kekerasan di televisi maka anak akan termotivasi untuk meniru atau mengimitasi hal tersebut, karena kekerasan tayangan televisi sering dikaitkan dengan kesuksesan dan kekuatan maka seorang anak akan melakukan kekerasan agar dirinya ditakuti dan terlihat kuat.
  • Mengalami sindrom Stockholm. Sindrom stockholm adalah kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengn pihak aggressor (penyerang) mngalami hubungan yang baik, dan selanjutnya pihak korban akan membantu aggressor mewujudkan keinginannya. Hal ini sering terjadi pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dimana para mahasiswa senior meniru perilaku para seniornya dahulu dalam memperlakukan junior.
  1. Dampak Kekerasan pada Pelajar
Kekerasan pada pelajar di sekolah dapat menimbulkan berbagai macam dampak, antara lain:
  1. Dampak fisik
Kekerasan fisik dapat menimbulkan organ-organ tubuh korban mengalami luka, memar, dll.
  1. Dampak psikologis
Kekerasan psikis dapat menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, rasa tidak percaya diri, rasa marah, rasa dendam, menurunnya inisiatif dan kreatif sehingga akan sangat berpengaruh pada prestasi belajar. Dan efek jangka panjangnya adalah dapat menimbulkan perubahan sikap pelajar secara jangka panjang.
  1. Dampak sosial
Pelajar yang mengalami dampak kekerasan tanpa ada penanggulangan maka akan menjadi seorang pemurung, pendiam, tertutup, sulit berkomunikasi, sulit mempercayai orang lain dan akan menarik diri dari lingkungan pergaulannya.
     Kekerasan pada pelajar dapat terjadi kapan saja. Sangat penting bagi semua pihak bahwa kekerasan bukanlah solusi yang tepat tetapi justru menambah masalah. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama untuk mengatasinya, tidak hanya pihak sekolah saja, namun orang tua juga memegang peranan penting agar mampu mencegah tindak kekerasan ini. Beberapa solusi dalam mengatasi kekerasan pada pelajar di sekolah yaitu:
  1. Bagi Sekolah
  • Menerapkan dan menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
  • Guru seharusnya menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa dan mengenali potensi dan bakat siswa serta memeberikan kebebasan dan penghargaan dalam berkreasi.
  • Menerapkan hukuman yang logis bagi setiap kesalahan siswa, sehingga dapat mencegah pemberian hukuman yang berlebihan atau tidak rasional.
  • Sekolah memebekali guru dengan pengetahuan dan pengalaman baru untuk mengembangkan kreatifitas guru. Penting juga untuk membekali guru dengan ilmu psikologi dan sosiologi agar guru mampu memahami dinamika perkembangan kejiwaan siswa.
  • Bimbingan konseling bagi siswa dan guru, agar dapat mengetahui masalh-masalh yang dihadapi siswa dan guru secara dini.
  • Menangani dan segera menindaklanjuti kekerasan yang dialami pelajar.
  1. Bagi Orang tua
  • Memilih sekolah dengan cermat agar tidak terjadi tindak kekerasan pada anaknya.
  • Menjalin komunikasi yang efektif kepada anak, agar anak bersedia menceritakan segala hal yang dialaminya di luar rumah kepada orang tua. Sehingga dapat dengan mudah diketahui bila terdapat masalah yang sedang dihadapai anak.
  • Menjalin komunikasi yang efektif dengan pihak sekolah dan lingkungan pergaulan anak.
  • Orang tua menerapkan pola asuh yang lebih banyak memberikan dukungan daripada hukuman. Agar anak memiliki tanggung jawab secara sosial.
  • Mengatur tayangan telivisi yang ditonton oleh anak, dan menghindari tayangan yang mengandung unsur kekerasan.
  • Mencari solusi atau penyelesaian setiap masalah dan konflik yang ada dan tidak membiarkannya berlarut-larut agar tidak menguras energi fisik dan psikis.
  • Meminta bantuan pihak profesional jika persoalan dalam rumah tangga sudah berlarut-larut dan tidak ditemukan jalan keluarnya sehingga mengganggu kehidupan mereka sehari-hari
  1. Bagi pelajar yang mengalami kekerasan
Menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tua, guru atau orang dipercaya. Sehingga dapat segera sharing saat mengalami kekerasan dan bisa mendapatkan pertolongan segera untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.

Permasalahan Sosial Terhadap kemiskinan


Kemiskinan mungkin masih banyak kita lihat di sekitar kita, persoalan kemiskinan bukanlah hal yang baru di Negara Indonesia. Sebelum kemerdekaan pun Kolonia belanda resah atas permasalahan kemiskinan yang melanda Indonesia pada pulau jawa. Kemiskinan itu mulai bertambah ketika pesatnya angka kelahiran dan masih buruknya perekonomian mereka. Sehingga menjadikannya semakin sulit dalam menata kehidupan untuk janga kedepannya. Hingga kini masih di bayangi oleh kemiskinan. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen [www.bps.go.id]. kemiskinan tidak hanya di daerah plosok saja namun di daerah kota pun masih ada kemiskinan yang malah makin meraja lela. Telah kita lihat ibu kota Jakarta begitu pesatnya pembangunannya masih di jumpai orang orang kalangan miskin, seperti gelandangan yang tinggal di berbagi tempat umum. Namun Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.

Jakarta - Pada mulanya adalah kemiskinan. Lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan [crime]. Martin Luther King [1960] mengingatkan, “you are as strong as the weakestof the people.” Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.

Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja. 

Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik, maupun hukum. 

Menurut Koerniatmanto Soetoprawiryo menyebut dalam Bahasa Latin ada istilah esse [to be] atau [martabat manusia] dan habere [to have] atau [harta atau kepemilikan]. Oleh sebagian besar orang persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.

Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Bapenas [2006] mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Baik bagi perempuan maupun laki-laki. 

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking.” 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2000 kasus balita kekurangan gizi dan 206 anak di bawah lima tahun gizi buruk. Sedangkan di Bogor selama 2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk dan 35 balita yang statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar. Sementara di Jakarta Timur sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi. Dan, di Jakarta Utara menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut pada Desember 2005 kasus gizi buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus. 

Dampak Kemiskinan

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. 

Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata. 

Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen]. 

Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].

Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.

Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan. 

Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya. 

Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.

Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.

Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan “keamanan” dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif. 

Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan. 


Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata. 

Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur]. 

Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
  
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar. Tetapi, juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.

Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.

Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara. Mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.

Masalah Sosial di Kalangan Remaja Masa Kini


Masalah sosial memang hebat dibincangkan di mana-mana sahaja di dunia ini dan kini lebih hebat dibincangkan dari masa kesemasa di Malaysia sendiri. Bukan sahaja masalah ini terjadi di negara membangun tetapi di negara maju dan juga dunia ketiga. Remaja masa kini hidup penuh dengan cabaran demi kemajuan dan kemodenan sehingga mereka kini hidup dengan penuh kebebasan. Kebebasan remaja kini tiada terbatas lagi hingga berlaku pelbagai masalah sosial di kalangan mereka yang bergelar remaja. Permasalahan sosial di kalangan remaja masa kini amat membimbangkan banyak pihak terutama sekali golongan ibu bapa dan golongan pendidik. Akhlak remaja semakin jatuh dan bagaikan tidak dapat dibendung lagi.
Seks bebas, lari dari rumah, buang bayi, mengedar dan menagih dadah, alkohol, ponteng sekolah, mengugut, menubuhkan kumpulan haram. Kesemua yang disebutkan tadi hanyalah sebahagian dari permasalahan sosial di kalangan remaja kita.
Remaja adalah seorang manusia yang berusia antara 14-21 tahun. Pada usia tersebut mereka sangat naif terhadap apa-apa perkara , mereka selalu ingin mencuba semua yang ada di dunia ini tanpa memikirkan akibatnya di masa yang akan datang.
Penyakit ini sebenarnya sudah lama bertapak di negara kita. Ia disebabkan oleh banyak faktor, antaranya adalah suasana persekitaran yang berubah secara mendadak terutamanya dengan pengaruh media massa dan elektronik yang saban hari mempengaruhi pemikiran golongan muda terutama yang baru meningkat remaja. memaparkan tentang eksploitasi terhadap wanita dan kebebasan remaja yang keterlaluan yang banyak. Dengan kurangnya didikan agama dan kasih sayang dari ibu bapa, perasaan ingin mencuba, desakan atau pengaruh dari rakan sebaya ini semua sebab terjadinya masalah sosial yang kian sukar dibendung lagi.
Masalah sosial yang melanda remaja pada masa kini terjadi daripada beberapa faktor. Antaranya selain daripada yang diberikan di atas merupakan pengaruh atau ugutan daripada rakan sebaya, kekurangan ilmu bagi menyesuaikan diri dengan kehidupan di bandar dan mempunyai sikap ingin mencuba sesuatu yang tidak baik dan juga sebab seperti di bawah.

Globalisasi /Kebebasan

Globalisasi sebenarnya tidak bermaksud kebebasan yang tidak ada batasnya, tetapi bermaksud kebebasan setiap manusia untuk menunjukkan seluruh potensinya sehingga dapat membawanya perubahan yang bererti baik pada diri sendiri mahupun orang lain.
Dalam era globalisasi ini banyak sekali berlaku pengekploitasian terhadap segala sesuatu iaitu ilmu pengetahuan sampai hal-hal yang bersifat pornografi yang membahayakan mental generasi muda kita. Remaja mudah terpengaruh terhadap perkara baru dan trendy misalnya mewarna rambut, memakai anting-anting atau tattoo bahkan sampai kepada hal-hal yang sangat serius iaitu pengambilan minuman keras, narkotik dan pergaulan bebas yang menjurus kepada free sex (seks bebas) yang giat dilakukan oleh remaja.

Modenisasi

Globalisasi bergerak seiringan dengan modenisasi. Salah satu alasan utama yang menjurus kepada masalah jenayah di kalangan remaja adalah disebabkan oleh proses modenisasi ini. Dalam dunia yang serba moden ini, masyarakat yang inginkan kemewahan menjadi semakin individualistik dan materialistik.
Sesetengah masyarakat moden tidak lagi menerima suratan takdir. Mereka mempercayai bahawa usaha mereka boleh membawa kebaikan. Jika di banding dengan masyarakat tradisional, masyarakat moden mempunyai cita-cita tinggi. Mereka mahukan prestij, gaji tinggi dan barang-barang mewah. Masyarakat moden tidak lagi menganggap saudara-mara mereka dan jiran mereka sebagai kelompok rujukan. Mereka mempunyai hubungan yang luas, di luar batasan sosial dan fizikal. Bagi mereka terdapat beberapa adat resam tradisional yang sudah tidak diamalkan lagi dalam masyarakat moden.

Media Massa / Internet

Dewasa ini, media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi masyarakat khususnya golongan remaja. Melalui teknologi yang semakin canggih ini, golongan remaja mudah terdedah kepada banyak maklumat termasuk bahan yang tidak sesuai yang boleh mendatangkan bahaya jika digunakan tanpa panduan daripada golongan dewasa.
Golongan pelajar lazimnya mudah meniru dan mengikut hal yang dilihat di sekeliling mereka. Paparan adegan-adegan negatif dari filem barat yang banyak memaparkan adegan ganas menimbulkan perasaan ingin tahu dan ingin cuba sendiri mengikut apa yang mereka tonton dari video cakera padat dan sesetengah program televisyen.
Selain daripada video cakera padat (VCD), bahan-bahan pornografi juga mudah didapati melalui internet yang sukar dibuat tapisan oleh pihak yang berwajib. Oleh itu, ibu bapa seharusnya membimbing dan memberi tunjuk ajar supaya remaja ini mendapat panduan yang betul.
Ideologi Kebebasan Bertingkah Laku
Kebebasan bertingkah laku di negara Barat telah banyak membawa akibat yang buruk dalam masyarakat mereka. Apakah kita sepatutnya mencontohi mereka? Adakah semua yang dibawa Barat baik? Rancangan Barat yang berunsur realiti banyak memperlihatkan adegan yang tidak selaras dengan kebudayaan Timur.
Rancangan televisyen pastinya mengghairahkan remaja kerana memaparkan adegan-adegan yang menjolok mata dan kadang-kadang unsur-unsur seks yang melampau serta cara hidup yang serba pincang. contohnya filem-filem Barat yang di tayang di televisyen, lebih-lebih lagi bagi siaran yang berbayar.
Rancangan televisyen sebegini seolah-olah memberikan satu fahaman bahawa orang ramai boleh mengadakan seks rambang selagi tidak ada pencabulan hak dan kebebasan di antara dua pihak. Budaya seperti inilah yang mendedahkan remaja kepada penyakit-penyakit kelamin yang berbahaya.

Pakaian Dan Kes Rogol

Anak-anak muda kini diajak menjadi golongan yang berfikiran terbuka. Malangnya, minda mereka dicemar oleh konsepsi kehidupan yang membawa kepada kecelaruan. Zaman ini perempuan Melayu Islam yang memakai mini skirt, seluar pendek atau memadankan tubuh dengan bikini dan bertanding dalam peraduan ratu cantik di khayalak ramai tidak dianggap sebagai pesalah. Golongan wanita muda yang berpakaian menjolok mata tidak dapat menerima pendapat bahawa merekalah yang memainkan peranan dalam melonjaknya jumlah kes rogol dan pencabulan kehormatan.

Dunia Cinta Remaja

Perasaan ingin berpasangan semakin memuncak ketika berada di alam remaja. Sekiranya perasaan ini tidak dikawal atau dibendung sudah tentu ia akan membawa kepada masalah sosial. Isu terkini benarkah remaja kini banyak terlibat dalam aktiviti seks bebas? Mereka bercinta dan melakukan hubungan seks serentak demi cinta sejati.
Remaja lelaki dan perempuan masa kini menghadapi masalah sosial seperti pergaulan bebas, anak luar nikah, zina dan sebagainya. Bercinta tidak pernah dianggap salah malahan orang yang tidak percaya akan cinta kepada insan lain dan pencipta-Nya merupakan golongan manusia yang rugi. Islam sendiri menggalakkan umatnya saling kenal mengenali antara satu sama lain tanpa mengira jantina, bangsa dan agama.
Mungkin ada cara untuk menangani masalah percintaan. Remaja diingatkan supaya berkawan atau bercinta dengan cara yang telah digariskan oleh Islam yang diantaranya adalah mengelakkan pergaulan tanpa batas, berdua-duaan di tempat sunyi dan sebagainya.
”cinta yang tak terkawal boleh membawa kepada masalah yang lebih buruk…”

Mengisi Masa Lapang Remaja

Penggunaan untuk mengisi waktu lapang bagi remaja sering diabaikan. Kerap kita berjumpa dengan remaja-remaja yang masih memakai pakaian seragam sekolah berkeliaran di pusat membeli belah atau ‘melepak’ di tepi jalan. Kegiatan semacam ini dirasakan kurang bermanfaat dan dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti mengganggu ketenteraman.
Pelajar yang sibuk dan menyukai kesibukan, biasanya memiliki masa lapang yang terbatas. Mereka kurang berminat pada kegiatan-kegiatan yang tidak berfaedah. Pengisian masa lapang yang kurang terarah, akan mendesak remaja melakukan aktiviti atau kegiatan yang kurang terarah seperti perbuatan negatif.
Oleh itu perlu diingat aktiviti apa saja yang dipilih oleh seseorang, khususnya remaja, sebagai pengisi masa lapang tidak harus dipandang remeh oleh ahli keluarga.

CARA MENGATASI MASALAH SOSIAL REMAJA

Remaja atau belia perlu mengekalkan pergaulan terpuji di kalangan rakan-rakan mereka dan mestilah mempunyai dan mengamalkan sifat-sifat yang terpuji seperti berakhlak mulia, beradab ketika berbicara, sering memberi salam, jujur, memelihara amanat, sabar, toleransi dan seumpamanya hingga kepada azam menanam rasa memuliakan teman atau rakan yang baik pada setiap pertemuan. Pergaulan juga harus dijaga daripada perkataan yang sia-sia, kotor dan perkara-perkara yang merupakan ‘kerugian’ bagi setiap individu Muslim.Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: "Bukanlah seorang Mukmin yang sempurna, yang suka mencela dan melaknati, berperangai jahat dan berakhlak rendah."
Bagi remaja yang sudah terpesong hendaklah sedar bahawa kita sepatutnya mengamalkan nilai-nilai murni yang baik dalam pergaulan serta mencari arah dan tujuan hidup yang asal serta mencipta kebaikan dan kecemerlangan diri. Tidak bererti keterlanjuran diri yang telah berlalu merupakan sempadan yang tidak dapat diubah ke arah yang lebih baik dan sempurna. Justeru, pergaulan yang dicari ialah pergaulan yang baik, beretika, dan sentiasa ingat kepada ajaran-ajaran beragama serta menghala tuju ke arah kualiti hidup yang berguna. Lihatlah kepada resmi ikan, meskipun berenang di lautan masin, namun ikannya tetap tawar dan sedap dimakan.Maknanya, meskipun pelbagai perubahan sosial yang berlaku di sekeliling kita, pengaruhnya tidak semudah itu meresap ke dalam diri kita, namun yang baik tetap menjadi pilihan dan keutamaan kita. Untuk mempertahankan kebaikan yang kita sedia miliki inilah kita perlu kepada ketahanan diri. Ketahanan diri yang dimaksudkan ini memerlukan kepada bekalan yang kukuh dan mantap. Dalam konteks ini, apa yang lebih mujarab untuk menjadi benteng yang menjadi senjata mengawal diri ialah memperteguh keimanan dan kekuatan beragama.Tiada apa-apa yang akan dapat membantu dalam mengawal diri kita ini, jika kita kosong dengan bekalan keimanan dan ketakwaan yang mendalam. Kita perlu dan tidak boleh mengabaikan bahawa perhiasan yang paling indah ialah keimanan dan ketakwaan yang mendalam kepada Allah s.w.t.Jika hakikat ini kita abaikan, maka mudahlah segala ancaman dan gejala sosial menebusi pertahanan diri kita. Jika pertahanan diri kita sudah dibolosi,Inilah yang akan menjadi isu kehidupan yang bukan sahaja akan melibatkan banyak perkara, malahan ia juga akan melibatkan tenaga dan usaha yang jika dialihkan ke arah yang lebih bermakna, akan lebih memberikan kesan dan manfaatnya.Inilah yang sedang kita lalui sekarang dan kita memerlukan persiapan diri untuk berdepan dengan budaya yang sudah mula membauri kemurnian yang sedemikian lama kita pupuk dan semai bersama. Kita perlu sedar dan menginsafi bahawa jika kita terus membiarkan keadaan ini berlaku, kita akan kehilangan nilai dan juga kemurnian jati diri bangsa. Justeru, semua pihak (lebih-lebih remaja sendiri) harus berperanan dan bertanggungjawab dalam mewujudkan ketahanan budaya dan nilai-nilai kehidupan beragama yang sedemikian lama kita genggam. Tidak ada ertinya lagi untuk kita sering menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Kerajaan telah melakukan bermacam-macam cara untuk menarik minat dan perhatian remaja dari melakukan aktiviti yang tidak berfaedah, seperti kempen Budi Bahasa budaya kita, Tak Nak kepada Rokok, Belia Benci Dadah dan banyak lagi, namun usaha dan susulan sedemikian yang giat dilaksanakan dengan bantuan badan-badan tertentu tidak begitu berjaya menarik minat remaja secara menyeluruh. JAKIM sebagai salah sebuah agensi kerajaan juga turut serta dalam hal ini seperti mengadakan program menjadikan masjid sebagai tempat persinggahan penagih dadah, bengkel menangani gejala sosial remaja, dakwah untuk remaja, menerbitkan bahan-bahan bacaan berunsur Islam untuk remaja serta banyak lagi.
Tanggungjawab membanteras masalah sosial sebegini bukan sahaja tanggungjawab kerajaan dan pihak sekolah sahaja malah tanggungjawab ini harus dipikul oleh semua pihak, terutama ibu bapa sendiri. Adalah tidak munasabah sekiranya pihak ibu bapa sekadar menuding jari kepada pihak lain sekiranya anaknya bertindak liar.
”..Ini tanggungjawab semua pihak, remaja pun tidak boleh disalahkan 100%...”
Kembali kepada Akal Budi Islam
Menurut Islam, kanak-kanak mula dapat membezakan perkara yang baik dan buruk setelah mencapai mumaiyiz iaitu berumur tujuh tahun. Pada ketika inilah ibu bapa atau penjaganya patut melatih anak mengerjakan ibadat yang wajib. Apabila anak mencapai umur baligh, mereka wajib melaksanakan semua suruhan agama dan menjauhkan segala larangannya.
Islam mempunyai suatu sistem yang cukup lengkap, datangnya dari pencipta manusia sendiri iaitu Allah SWT yang sendirinya tahu tentang baik atau buruk bagi manusia itu. Amalkan ajaran Islam sepenuhnya sebagai cara hidup.
Kesimpulan
Sama ada disedari atau tidak kebanyakan masalah yang melanda remaja masa kini adalah disebabkan oleh tekanan serta permasalahan yang wujud di dalam persekitaran. Terdapat banyak faktor yang perlu ditimbangkan sebelum kita boleh menuding jari siapa penyumbang utama isu ini. Bak kata pepatah “mencegah adalah lebih baik daripada mengubati ”. Maka, adalah wajar bagi semua pihak untuk sentiasa menangani dan prihatin dengan permasalahan sosial remaja.
Sebagai penjaga kepada anak-anak, ibu bapa haruslah lebih peka dan sentiasa mengambil berat tentang masalah yang dihadapi oleh anaknya. Ibu bapa haruslah bersikap terbuka dan membincangkan isu ini dengan anak-anak mereka Marilah kita dengan penuh sedar dan keinsafan bergabung fikiran, tenaga, kepakaran dan pengalaman, bertindak mencari jalan penyelesaian walaupun usaha yang dilaksanakan nanti belum pasti dapat menghapuskan permasalahan ini tetapi sekurang-kurangnya kita berusaha untuk membendung daripada terus merebak memusnahkan anak bangsa rakyat yang tercinta. Begitu juga dengan remaja, mereka seharusnya sentiasa peka dan terus berusaha untuk menjadi remaja yang merdeka. “Remaja hari ini adalah pemimpin hari esok”.